Share this page

Cuci Parigi, Bentuk Syukur Rakyat Banda

Kompas.com - 16/Jun/2019 , 22:49 WIB

Cuci Parigi, Bentuk Syukur Rakyat Banda

KOMPAS.com - Sejak pukul 06.00 WIT, warga memadati Pelabuhan Rakyat Neira. Belasan motor tempel bergantian mengantarkan warga dari Banda Neira, Ibu Kota Kecamatan Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.

Tujuan mereka adalah desa tertua di kepulauan itu, yakni Negeri Lonthoir di Pulau Banda Besar. Hari itu memang ada perhelatan tradisi 10 tahunan terhitung 2008-2018, prosesi adat Cuci Parigi (mencuci sumur) atau mensucikan sumur.

Bagi masyarakat di Kepulauan Banda, Cuci Parigi merupakan tradisi terpenting, sehingga walaupun mereka berada di perantauan, banyak yang bela-belain pulang dari hanya untuk mengikuti rangkaian tradisi yang juga mengandung nuansa magis tersebut.

Banyaknya warga Banda pulang dari perantauan bahkan melebihi jumlah mereka yang mudik untuk Hari Raya.

Tidak mengherankan, sejak pagi, belasan perahu motor hilir mudik mengantar warga ke Negeri Lonthoir. Diperkirakan sedikitnya puluhan ribu orang memadati Negeri Lonthoir untuk mengikuti ritual adat yang menjadi acara puncak Pesta Rakyat Banda.

Sumur suci

Cuci parigi dikenal masyarakat setempat dengan istilah Rofaerwar. Ritual utama cuci parigi adalah membersihkan dua buah sumur kembar yang berusia ratusan tahun di Desa Lonthoir, yang berada pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut, dengan kedalaman sekitar empat meter.

Prosesi Cuci Parigi Pusaka Lonthoir, konon mengingatkan warga setempat akan penyebaran agama Islam di Negeri Lonthoir.

Kala itu, sejumlah ulama penyebar agama Islam dari Timur Tengah sedang berada di daerah tersebut dan mencari air wudhu ketika akan menunaikan shalat.

Tiba-tiba seekor kucing muncul dari semak-semak. Dari lokasi kucing itu muncul, ternyata ada sumber mata air yang kemudian menjadi parigi pusaka.

Bagi kebanyakan orang, letak sumur pada posisi ketinggian seperti itu, sebenarnya mustahil  terdapat sumber air yang melimpah, apalagi hanya dengan kedalaman empat meter.

Akan tetapi, itulah keajaiban dan magis yang ada. Sumur kembar ini juga tidak kering saat musim kemarau tiba.

Mengawali seluruh proses Cuci Parigi Pusaka, ada 99 lelaki mengarak belang (perahu) darat diiringi tarian cakalele dari rumah adat Lonthoir menuju Parigi Pusaka.

Dari mereka, ada 81 orang yang kemudian menjadi pasukan utama untuk membersihkan parigi. Jumlahnya 81 orang, karena ada sembilan anak tangga, dengan perhitungan setiap anak tangga ditempati oleh sembilan orang.

Begitu Gubernur Maluku Said Assagaff membuka secara resmi prosesi cuci parigi, para lelaki yang mengenakan kain ikat kepala berwarna kuning masuk ke dalam salah satu sumur. Sementara sumur di sebelahnya yang berusia lebih tua, tetap tertutupi bentangan kain berwarna putih.

Parigi yang tertutup kain putih.https://pesona.travel/ Parigi yang tertutup kain putih.

Diiringi tembang kabata—nyanyian dengan bahasa tanah atau adat—para lelaki tadi langsung membersihkan air di dalam parigi. Irama tifa, menambah semangat saat mereka menguras sumur dengan cara menimba airnya dengan ember, lalu secara estafet dikeluarkan dari dalam sumur.

Proses membuang air dari dalam parigi berlangsung sekira dua jam. Di tengah proses mengosongkan air dari dalam sumur ini, puluhan lelaki dan wanita penari cakalele asal Negeri Kampung Baru, yang punya ikatan kekerabatan gandong atau adik dengan Negeri Lonthoir, masuk ke areal parigi. Mereka juga ikut bersama cuci parigi pusaka.

Sesekali, air yang diangkat dari dalam sumur itu, dihempaskan ke arah kerumunan warga. Bahkan sejumlah orang sengaja menyiram dan menggosok wajah dan bagian tubuh warga dengan air bercampur lumpur serta tanah dari dalam perigi itu.

Meski disiram dengan air kotor dan tanah lumpur namun warga tidak merasa gatal. Sejumlah warga malah berebutan air kotor dari dalam parigi itu untuk sekadar dibawa pulang dan menyiram tubuh mereka, sebab diyakini dapat membawa berkah.

Setelah air di dalam parigi pusaka benar-benar kering, pasukan cakaleke lantas menuju rumah adat untuk menjemput Kain Gajah. Kain dengan panjang 99 depa itu diantar warga dengan diringi tetabuhan tifa serta nyanyian kabata, menuju lokasi Parigi Pusaka.

Kain gajah berwarnah putih itu kemudian dimasukan ke dalam parigi pusaka dan digunakan untuk menyerap air di dalam parigi hingga kering.

Selama proses membersihan air lumpur dan becek dengan kain gajah hingga kering, sejumlah orang membawakan tarian Siamali Negeri Lonthoir.

Mereka melantunkan kabata, bahasa tanah. Setelah bersih, kain gajah kemudian ditarik dan dibawa ribuan kaum perempuan menuju pantai Negeri Lonthoir dengan cara dipikul.

Para perempuan membawa kain gajah dengan cara dipikul dalam prosesi Cuci Parigi.https://pesona.travel/ Para perempuan membawa kain gajah dengan cara dipikul dalam prosesi Cuci Parigi.

Para perempuan pembawa kain gajah tidak mengenakan alas kaki. Selama perjalanan menuju pantai, untuk membersihkan Kain Gajah, mereka terus melantunkan kabata, hingga kembali ke Masjid Negeri Lonthoir untuk membilas kainnya sebelum dikembalikan ke rumah adat.

Agar air kembali memenuhi Parigi Pusaka, prosesi ini dilangsungkan saat air laut surut, dengan begitu ketika air laut pasang, Parigi Pusaka kembali terisi oleh air.

Baca juga artikel seru lainnya tentang Banda Neira berikut ini:

Hotel Instagramable di Banda Neira

Serunya Island Hopping di Banda Neira

 

KOMENTAR

Lihat Keajaiban Lainnya